Jika kita menemui seorang anak berusia delapan tahun dan belum bisa membaca, informasi apa yang akan kita cari untuk bisa membantu anak tersebut? Ahli neurosains dan psikolog memiliki jawaban.
Seorang ahli neurosains akan memberikan informasi kepada kita berupa gambar otak anak tersebut dan menjelaskan bahwa terjadi kesalahan pada bagian otak yang menyala saat anak tersebut berusaha untuk belajar membaca. Sedangkan ahli psikologi akan melakukan observasi terlebih dahulu kemudian memberikan gambaran bahwa anak tersebut tidak memiliki pemahaman yang baik tentang bunyi dari huruf-huruf yang dia dengar.
Manakah yang lebih anda sukai? Atau mana yang lebih anda butuhkan?
Tentu saja keduanya merupakan informasi penting yang tidak boleh kita acuhkan.
Pertanyaan utamanya, apakah guru harus tahu tentang neurosains atau psikologi kognitif?
Seorang sahabat langsung menjawab, “Tidak harus. Perlu iya, tapi tidak harus. Levelnya gak mungkin fardu ain, fardu kifayah saja kayaknya gak sampai. Lihatlah guru zaman dulu! Mereka tetap mampu mengajar meski tidak belajar neuroscience atau psikologi kognitif. Muridnya, banyak juga yang menjadi orang hebat.”
Mengetahui data-data cognitive neuroscience dan cognitive psychology memang bukan kebutuhan primer. Hal ini tidak seperti bahan bakar bagi kendaraan bermotor. Jika tidak ada bahan bakar, maka motor tidak berfungsi. Mengetahui data-data neurosains dan psikologi kognitif adalah urusan kecepatan dan efektivitas. Kita mau mempertahankan kecepatan 10 km/jam seperti yang telah kita terima berpuluh-puluh tahun atau kita ingin menaikkan kecepatan menjadi 50 km/jam?.
Kita harus menyadari bahwa ilmuwan di berbagai belahan dunia telah melakukan penelitian selama bertahun-tahun tentang hal ini. Salah satu tujuan utamanya adalah memahami pikiran dan perilaku manusia. Penelitian tentang otak dan pikiran tentu saja juga diperuntukkan untuk guru agar mereka mampu mendidik lebih efektif.
Dengan mengetahui data dari kedua ilmu tersebut, kita bisa mengetahui kerja otak dan dan cara meningkatkannya. Kita juga bisa mengubah cara mengajar kita agar proses belajar lebih efektif dan menyenangkan.
Berikut adalah petikan kecil dari data-data cognitive neuroscience dan cognitive psychology. Secara umum, Neuroscience berfokus pada struktur otak, sedangkan psikologi berfokus pada pikiran dan perilaku.
Neurosains:
Cara otak bekerja. Cara kerja belahan otak kanan dan kiri. Bagaimana otak anak disleksia dan autis bekerja. Bagian otak mana yang menyala saat murid menyelesaikan tugas. Apa yang terjadi pada otak jika anak-anak tertekan atau bahagia. Otak mana yang lebih aktif saat berada dalam tekanan. Usia berapa, otak mampu belajar mater-materi abstrak, mampu melakukan penalaran relasional. Apa respon otak terhadap pujian dan cacian, dan seterusnya.
Psikologi kognitif:
Cara belajar dan mengajar yang efektif, cara-cara efektif mengatasi anak yang kesulitan belajar, menyajikan pembelajaran yang menyenangkan, mengondisikan lingkungan untuk belajar, peran orang-orang di sekitar dalam mempengaruhi hasil belajar, memotivasi anak, dan seterusnya.
Ketika hal ini disodorkan, inilah respon yang mudah kita tebak.
“Guru sudah memiliki banyak persoalan, tidak perlu lagi menambah beban mereka dengan membaca buku atau mempelajari cara mengaktifkan prefrontal cortex, bilateral temporal-parietal junction, dan posterior medial structures.”
“Guru membutuhkan informasi-informasi praktis tentang apa yang dibutuhkan untuk membantu siswa belajar lebih baik.”
Yo wis…
Terimakasih.
sumber : sejutaguru.com